Kolaborasi Tingkat Global COP30 Brasil: Siapkah Kita?

Posting Komentar
ilustrasi hutan
Ilustrasi Hutan - Dokumentasi pribadi


“Hoax menyebar 70% lebih cepat daripada fakta.” - Thais Lazzeri dalam ClimaColab Session

Beberapa tahun terakhir media sosial tercemar oleh narasi hoax tentang isu perubahan iklim. Ada postingan dari seorang netizen Nigeria yang menggiring opini bahwa perubahan iklim bukan masalah Afrika. Postingan di X ini menuai banyak komentar, termasuk mereka yang menganggap isu perubahan iklim adalah konspirasi.

hoax perubahan iklim
Hoax Isu Perubahan Iklim - Gambar: bbc.com

Dari artikel bbc.com, mereka menganggap isu perubahan iklim hanyalah “permainan” kapitalis agar dapat menghentikan pertumbuhan ekonomi negara berkembang. Dengan kata lain pemilik modal hanya ingin mengeruk keuntungan bisnis tanpa peduli kesimbangan ekosistem.

Sebagian netizen juga menganggap isu perubahan iklim bukan masalah pribadi, tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Ada juga yang menilai perubahan iklim adalah “dosa” negara kaya yang penuh emisi gas rumah kaca sehingga berdampak pada pemanasan global. Katanya sih negara berkembang nggak perlu khawatir, nggak perlu ikut-ikutan peduli perubahan iklim.

Tahun 2024 juga ada narasi yang klaim bahwa perubahan iklim adalah konspirasi High-frequency Active Auroral Research Program (HAARP), sebuah organisasi di Eropa untuk riset nuklir (CERN), Bluebeam, dan perjanjian emisi karbon dengan Forum Ekonomi Dunia (WEF).

Nyatanya itu semua hanyalah hoax yang viral. Apalagi di era sosial media dan gempuran AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan. Orang bisa dengan mudah menyebarkan kabar bohong, ujaran kebencian, dan berita tanpa sumber. Bahkan bisa memproduksi tulisan, gambar, dan video yang isinya disinformasi tentang isu perubahan iklim.

Parahnya lagi, hoax tersebut sudah menyebar ke seluruh belahan dunia. Bahkan konten-konten hoax tersebut turut dijadikan ladang monetisasi.

Lalu, bagaimana faktanya?

Fakta Perubahan Iklim

Aku baca dari kompas.com, narasi-narasi di atas tidak berdasar. Fakta berdasarkan data dari National Aeronautics and Space Administration (NASA), perubahan iklim benar terjadi. Buktinya antara lain suhu bumi semakin panas, meningkatnya karbon dioksida, permukaan laut semakin tinggi, dan adanya bencana ekstrem.

Kita lihat saja di negara tercinta, deforestasi semakin menggila. Deforestasi sendiri dapat diartikan sebagai kehilangan kawasan hutan yang berubah menjadi kawasan non hutan. Sebenarnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah membagi jenis deforestasi menjadi deforestasi terencana (planned deforestation), deforestasi tidak terencana (unplanned deforestation), deforestasi bruto (gross deforestation), dan deforestasi netto (netto deforestation).

 

deforestasi hutan
Angka Deforestasi Indonesia - Data: website Kementerian Kehutanan Indonesia

Dari data Kemenhut, angka deforestasi netto tahun 2024 sebesar 175,4 ribu hektar. Pemantauan deforestasi dilakukan secara menyeluruh menggunakan citra satelit Landsat yang disediakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Lokasi pemantauan mencakup seluruh daratan di Indonesia dengan luas total 187 hektare, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.

Penyebab utama deforestasi di Indonesia yaitu pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan kebakaran hutan. Sementara wilayah terparah berada di Pulau Kalimantan dan Papua.

deforestasi hutan
Spot Deforestasi di Kalimantan Barat - Gambar: auriga.or.id 2023

Tak main-main, deforestasi berdampak pada kerusakan ekosistem, ancaman bagi habitat satwa liar, hilangnya mata pencaharian masyarakat adat yang bergantung pada hutan, dan emisi gas rumah kaca akibat pengembangan lahan gambut.

Tak hanya di Indonesia, kawasan Amazon di Brasil juga memiliki masalah yang sama. Berdasarkan artikel di infoamazonia.org, Amazon telah kehilangan sekitar 23,7 hektar hutan dalam kurun waktu 5 tahun. Data ini bersumber dari hasil studi Amazon Network of Georeferenced Socio-Environmental Information (RAISG). Padahal Amazon merupakan rumah bagi 30% keanekaragaman hayati dunia (dari data International Union for Conservation of Nature). Belum termasuk spesies tumbuhan dan hewan baru yang terus ditemukan.

Hasil penelitian juga berfokus pada factor penyebab deforestasi. Misalnya aktivitas tambang emas dan perkebunan. Deforestasi ini tentu akan berdampak pada stabilitas iklim serta kualitas dan kuantitas air.

COP30 Brasil: Semoga Menjadi Solusi

Beruntung aktivis tidak tinggal diam. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar konferensi perubahan iklim tahunan yang biasa disebut COP (Conference of the Parties). Tahun ini adalah COP ke 30 yang akan diselenggarakan di Balem, Brasil mulai dari 10 hingga 21 November 2025. Akan ada perwakilan dari berbagai negara untuk menentukan kebijakan efektif dan aksi nyata yang akan dieksekusi.

Aku juga berkesempatan ikut sesi online gathering bersama ClimaColab yang membahas tentang pentingnya COP30 dalam mengurangi dampak negatif perubahan iklim. Sesi yang diadakan tanggal 8 Oktober 2025 ini juga membahas kesamaan Indonesia dengan Brasil berkaitan dengan deforestasi hutan. Tentu saja hal ini memperkuat solidaritas negara berkembang untuk berperan aktif dalam rangkaian COP30 mendatang.

 

COP30 Brasil
ClimaColab Session - Screenshot pribadi


COP ke 30
ClimaColab Session - Screenshot pribadi

Tujuan utama COP30 adalah merumuskan kebijakan paling efektif untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Selain itu, COP30 juga menjadi bentuk implementasi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. COP30 Brasil ini diharapkan mampu mengurangi emisi karbon dioksida, penurunan tingkat deforestasi hutan, perlindungan tumbuhan dan satwa, hingga pendanaan untuk negara berkembang.

Aksi Nyata yang Bisa Kita Lakukan

Kalau ngomongin aksi nyata, aku yakin banyak hal sederhana yang bisa kita lakukan. Misalnya cross check informasi agar tidak terpapar hoax. Jika kita menemukan informasi, khususnya tentang perubahan iklim, coba cek ulang dengan mengetikkan kata kunci topik ke mesin pencarian (Google). Oh iya, hindari mencari fakta lewat chat gpt dan sejenisnya. Lalu lihat apakah media atau website pemerintah atau website lembaga terpercaya menuliskan hal yang sama tentang topik tersebut. Jika cenderung sama, insyaAllah itu bukan hoax. Sebaliknya, jika tidak ada media atau website terpercaya yang mengangkat isu serupa, mungkin saja itu hoax.

Kita juga bisa lebih bijak menghemat air dan listrik, mengurangi penggunaan plastik, mengurangi sampah makanan (masak dan makan secukupnya), memaksimalkan penggunaan transportasi umum, dan menyebarkan fakta di tengah paparan hoax. Misalnya membagikan ulang postingan berita atau postingan edukasi dari lembaga terpercaya.

So, menjelang COP30 Brasil, sudah siapkah kita?

Harus siap, dong!




Latifah Kusuma
Challenger. Pribadi yang senang berpetualang, baik online maupun di real life. Lebih suka bekerja di lapangan. Bisa disapa melalui instagram dan twitter @latifahkusuma7
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar